Sejarah Rumah Pos

Dengan adanya rumah-rumah pos ini, daerah-daerah terpencil di Jawa dan Madura bisa terhubung dengan sistem jaringan Pos Hindia Belanda secara nasional.

Jaman Kolonial (1883-1949)

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Hindia Belanda tanggal 5 Mei 1883, didirikanlan rumah-rumah pos ditiap-tiap kabupaten. Pendirian ini dimaksudkan agar proses surat-menyurat antar pejabat pemerintah dan kedinasan dapat berjalan lebih baik. Seiring perjalanan waktu, dengan persetujuan Dewan,  layanan ini juga bisa dinikmati pihak swasta dan individu sejak 1892.

Layanan pengiriman surat-surat ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Hindia Belanda. Pejabat-pejabat didaerah mendapat kewajiban untuk menyelenggarakan operasional rumah-rumah pos ini. Mereka bertanggung jawab mengadakan kiriman tersebut hingga ke kantor pos pembantu atau kantor pos terdekat. Untuk membantu operasional, penanggung jawab rumah pos mendapatkan sebagian dari hasil penjualan prangko.

Dengan adanya rumah-rumah pos ini, daerah-daerah terpencil di Jawa dan Madura bisa terhubung dengan sistem jaringan Pos Hindia Belanda secara nasional.

Surat-surat tersebut akan dikirimkan dari rumah pos ke kantor pos pembantu atau ke kantor pos terdekat. ‎Jika suatu rumah pos berada di jalur kereta Api atau tram, maka kiriman bisa diserahkan ke kantor Halte atau Stasiun kereta Api tersebut dan dan harus diberi cap pos dari halte atau stasiun  tersebut. Mereka harus mematikan prangko yang dipergunakan dengan menterakan cap pada prangko.

Jaman Republik Indonesia (1950 – kini)

Bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Sebagaimana disebutkan dalam teks Proklamasi, bahwa pemindahan kekuasaan dilakukan secara seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sejak awal, pemerintahan negara yang baru lahir ini yakin bahwa beberapa sendi pemerintahan tidak serta merta akan berpindah tangan begitu kemerdekaan ini dinyatakan.

Dalam masa 1945-1949 dimana Belanda melakukan upaya untuk menduduki kembali Indonesia, terjadi perlawanan diberbagai tempat di Indonesia. Akibatnya, layanan pos juga mengalami hambatan dan ketidak normalan. Masa-masa yang dikenal sebagai masa mempertahankan kemerdekaan ini, menimbulkan konsekuensi layanan ganda yang dilakukan oleh pemerintahan sipil Belanda di Indonesia atau NICA dan oleh pihak Republik Indonesia. Setelah Agresi Militer Belanda kedua pada 19 Desember 1948 hampir semua layanan pos dilakukan dibawah kendali NICA.

Keberhasilan Belanda dalam Agresi Militer kedua ini berbanding terbalik dengan sikap politik internasional. Diplomasi Indonesia berhasil meyakinkan dunia dan memaksa Belanda untuk melakukan perundingan. Pada 19 April 1949 dilakukan perundingan di Hotel des Indies, Jakarta yang kemudian ditanda tangani pada 7 Mei 1949. Perundingan Roem – Roijen , diambil dari nama pimpinan delegasi Indonesia dan Belanda yaitu Mohaamd Roem dan Herman van Roijen.

Hasil pokok perjanjian Roem-Roijen adalah Indonesia dan Belanda sepakat akan melakukan perundingan kembali ditahun yang sama. Belanda mengembalikan pemerintahan Republik Indonesia di Jogjakarta dan membebaskan semua tawanan. Kedua belah pihak bersedia menghentikan aksi militer.

Pemerintahan Indonesia kembali dari pengasingan pada Juli 1949 ke Jogjakarta. pada 23 Agustus 1949 mulai dilakukan perundingan di Den Haag, Belanda antara Indonesia, Belanda dan BFO – negara-negara boneka bentukan Belanda di Indonesia. Hasil perundingan ini ditanda-tangani pada

Belanda akhirnya mengakui kedaulatan Republik Indonesia secara de facto dan de jure pada 27 Desember 1949. Pengakuan ini dilakukan dengan penandatangan naskah oleh Ratu Juliana dan Mohammad Hatta di Istana Dam, Amsterdam. Di Jakarta, pengakuan kedaulatan dilakukan di Istana Rijswijk (Istana Merdeka) oleh Tony Lovink dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Dengan demikian, praktis sejak 1950 pemerintahan Indonesia mulai bisa bekerja untuk melakukan pembenahan administrasi dan pembangunan termasuk dalam hal ini layanan pos yang diselenggarakan oleh PTT.